Pekan lalu aku jalan-jalan ke sebuah toko buku di Kota Solo. Sekadar menghilangkan kejenuhan dan mencari tahu buku apa yang saat ini sedang diminati pembaca. Di akhir perjalanan, aku tenggelam di rak buku-buku islam. Tertarik membaca buku bertajuk "Kenapa harus Pacaran?" yang ditulis Rabiah Al Adawiyah, senior di Fakultas Hukum UNS.
Setelah kubaca sekilas, aku jadi tahu mengapa penulis buku ini menyarankan pembaca untuk tidak berpacaran. Jelas landasan hukum syariat menjadi poin penting. Karena memang tidak pernah ada ulama' yang menjelaskan soal "Fiqih Pacaran" bahkan "Sunnah Berpacaran" sekalipun. Proses itu memang tidak pernah ada aturannya, bahkan dengan tegas dilarang. Tapi biarlah aku menyimpulkannya. Kesimpulan sederhana yang kutarik seorang diri adalah: Karena pacaran memang sama sekali tidak bermanfaat.
Aku jadi ingat dengan SMS seorang kawan lama belum lama ini. Ia adalah teman seangkatan semasa sekolah yang kini menjadi kontributor di salah satu TV swasta nasional. Dalam SMS-nya, ia mohon doa restu karena akan menikah bulan Juli nanti. Aku sangat terharu. Bagaimana tidak, ia dan calon isterinya telah menjalin hubungan selama sepuluh tahun.
Meski tidak tahu persis apa saja yang terjadi selama sepuluh tahun itu, tapi sedikit banyak aku tahu gejolak di hatinya. Tiap kali temanku itu Curhat, ia selalu mengatakan hal yang sama di ujung cerita. "Sebenarnya aku sudah sangat bosan. Dia sudah tidak berarti apa-apa lagi di mataku, tak ada yang spesial. Tapi aku tetap harus menikah dengannya, nggak enak dengan orangtua..".
Begitulah, meski didera kebosanan luar biasa, untung saja temanku ini pada akhirnya membuat keputusan besar: Menikah. Jika tidak, sulit kubayangkan bagaimana rasanya menjalani hubungan selama sepuluh tahun namun berakhir sia-sia.
Kisah pacaran lama dan membosankan namun berakhir di pintu nikah juga dialami kakak sepupuku. Ia menikah akhir tahun lalu setelah menjalin kisah cinta selama tak kurang dari enam tahun. Saat kudesak untuk bercerita soal perasaannya setelah menjadi seorang suami, ia hanya berkomentar singkat yang akhirnya membuatku sangat kecewa. Ia berkata begini: "Biasa aja tuh.. hubungan kami sudah seperti kakak adik, jadi ya nggak ada pengaruh apa-apa setelah nikah." Aku terhempas, kecewa. Jujur saja aku berharap mendapat jawaban yang dramatis. Karena kupikir menikah pasti sangat mengharukan, membuat deg-degan dan sejuta perasaan bahagia lainnya. Tapi kakak sepupuku itu cukup merangkumnya dengan satu kalimat: Biasa Saja.
Kesimpulan sementara yang kuambil waktu itu adalah, hubungan setelah pernikahan menjadi hambar karena pada waktu berpacaran mereka sudah biasa menikmati hal-hal yang seharusnya dinikmati setelah menikah. Mulai dari duduk berdua-duaan hingga pegangan tangan. Jadi, bisa ditebak apa yang terjadi setelah semua itu menjelma menjadi sebuah rutinitas: Bosan.
Terus terang, sebagai seorang yang belum pernah menikah, aku menjadi sangat tertarik dengan proses menggenapkan separuh dien ini. Referensi yang kugunakan pun bermacam-macam, mulai dari kalangan alim ulama, aktivis dakwah hingga kalangan amah dan orang-orang gaul. Ini kulakukan semata agar lebih komprehensif memandang sekaligus mensikapi pernikahan. Baik proses yang mengawali maupun apa saja yang terjadi sesudah menikah.
Hingga akhirnya, pemahamanku lebih komprehensif setelah kakak tingkatku semasa di kampus silaturrahim ke rumah kemarin sore. Kakak tingkatku ini memang belum menikah, ia juga seorang ikhwan yang sangat menjaga pergaulan. Tapi ia punya cerita yang subhanallah… menggelikan sekaligus membuatku terhentak. Takjub, sekaligus heran.
Ia mengabarkan bahwa salah satu rekan seangkatannya –yang juga kakak tingkatku di kampus- sebut saja bernama Ahmad, menikah pekan lalu. Dan kakak tingkatku ini hadir disana menyaksikan proses walimah hingga selesai. Kak Ahmad yang tinggal di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat ini pun seorang aktivis dakwah yang tidak kalah ketat menjaga pergaulan. Jangankan berpacaran, bicara dengan wanita saja ia selalu menjaga pandangan. Singkat kata, ia seorang ikhwan tulen.
Proses ijab qabul yang dilakukan pukul 8.00 WIB berjalan lancar. Kisah menggelikan sekaligus mengharukan ini mulai bergulir sejak pagi hari, saat akad nikah dilakukan. Ketika mempelai pria menyerahkan mas kawin, mempelai wanita butuh waktu bermenit-menit hanya untuk bisa mencium tangan pria yang sudah resmi menjadi suaminya. Dia hanya diam, ragu, sampai saksi hingga wali nikah terpaksa membujuk mempelai wanita agar "berani" mencium tangan lelaki di depannya. Sementara sang suami hanya bisa terpaku, mukanya merah padam, keringat bercucuran…
Tapi akhirnya proses mencium tangan itu bisa dilakukan juga, lega.. Ijab qabul ini pun dilanjutkan dengan resepsi sangat sederhana di rumah mempelai wanita. Jika biasanya pengantin jalan dengan bergandengan tangan, kedua mempelai ini melakukannya dengan sangat aneh. Mereka jalan dengan kepala menunduk dan tangan masing-masing dalam posisi siap. Tidak ada kisah duduk di pelaminan ala dramatis, apalagi romantis. Mereka terlihat tegang, kaku dan grogi.
Tamu-tamu terus berdatangan hingga siang hari. Sore harinya, setelah semua proses walimah selesai, keluarga besar dan sahabat pamit pulang ke rumah mereka masing-masing. Keluarga kedua mempelai pun sangat pengertian, mereka dibiarkan di rumah berduaan saja malam itu. Sekadar menikmati kebersamaan sebagai pengantin baru.
Tapi apa yang terjadi, saat sahabat-sahabat dekat Kak Ahmad yang berjumlah lima orang pamit pulang, Kak Ahmad justru menahan mereka dan berkata lirih :"Jangan pulang, tega benar kalian. Tolong temani aku malam ini…"
Karuan saja kelima sahabat itu mencak-mencak. Bagaimana bisa malam pertama yang sangat dinantikan itu justru dilalui bersama orang lain. Mereka tetap nekad pulang sore itu. Tapi Kak Ahmad justru semakin menghiba, memohon dengan sangat agar mereka pulang keesokan harinya. Melihat Kak Ahmad seperti itu, mereka surut. Toh, mereka bisa tidur di ruang keluarga atau begadang semalaman di teras rumah. Sementara sang pengantin baru menikmati indahnya malam.
Kak Ahmad pun berjanji, kehadiran mereka tidak akan mengganggu malam pertama. Justru sebaliknya, Kak Ahmad mengaku sangat tertolong dengan keberadaan mereka.
Proses selanjutnya berjalan seperti biasa. Mereka bertujuh shalat maghrib berjamaah di ruang tengah, lalu sesudahnya mempelai wanita masuk ke kamar. Hingga waktu isya, sang wanita tak kunjung keluar. Kelima sahabat ini meminta Kak Ahmad untuk menemui wanita itu di kamar. Dengan alasan mungkin sang isteri sedang membutuhkan suaminya saat ini. tapi Kak Ahmad hanya berkata "nanti".
Jarum jam pun menunjuk angka 10. Malam di Majalengka semakin dingin. Tapi Kak Ahmad masih asyik bercengkrama dengan sahabat-sahabatnya. Merasa heran, kakak tingkatku menegur Kak Ahmad. Mengapa ia tidak segera masuk kamar dan menemani isterinya. Tapi lagi-lagi Kak Ahmad hanya mengatakan "Nanti".
Tidak sabar lagi, kelima sahabat ini pun kompak marah-marah dan mengancam pulang malam itu juga bila Kak Ahmad tidak segera masuk kamar. Tapi lagi-lagi Kak Ahmad menghiba, minta agar mereka tidak pulang. Kali ini alasannya sungguh tidak masuk akal: Ingin menikmati kebersamaan dengan sahabat. Kontan saja mereka semakin mendidih. Kok bisa-bisanya isteri dikalahkan demi sahabat. Di malam pertama pula.
Akhirnya mereka sepakat mematikan lampu dan tidur. Dengan harapan Kak Ahmad bisa segera menemui isterinya. Tapi apa yang terjadi, Kak Ahmad justru bergabung dengan mereka tidur di ruang tengah. Tanpa disuruh, Kak Ahmad sendiri ikhlas untuk Curhat. "Aku malu mau masuk kamar. Toh tadi setelah akad nikah kami sudah shalat sunnah dua rakaat. Aku benar-benar malu berduaan dengan isteriku.." katanya. Bosan marah-marah, kelima sahabat hanya diam, tak tahu mesti berkomentar apa.
Kak Ahmad akhirnya memang berhasil mengalahkan ketakutannya untuk masuk kamar pengantin. Sesaat sebelum adzan shubuh menggema, ia masuk kamar untuk mengajak isterinya shalat berjamaah. Kelima sahabat cengar-cengir melihat tingkah pengantin baru itu. Jangankan berkata "Dek" apalagi "Sayang", ia masih memanggil isterinya dengan sebutan "ukhti".
Waktu terus merambat, hingga pagi hari kelima sahabat kembali pamit pulang. Tapi kali ini giliran sang isteri yang meminta mereka tinggal sejenak, karena pengantin baru ini akan silaturahim ke rumah saudara. Merasa alasan yang dipaparkan logis, mereka pun nurut saja. Tapi tetap ada yang aneh, Kak Ahmad dan isterinya keluar dengan membawa sepeda motor masing-masing, tidak berboncengan. Kakak tingkatku langsung mengambil sikap cerdas: Ia meminjam sepeda motor Kak Ahmad dengan alasan ingin jalan-jalan pagi. Kak Ahmad yang tidak siap disodori permintaan itu akhirnya hanya mengiyakan. Meski mukanya memerah luar biasa. Maka jadilah mereka berboncengan. Kelima sahabat ini lega, melihat Kak Ahmad akhirnya berani "menyentuh" isterinya.
Tapi apa yang terjadi, tidak sampai 15 menit kemudian, mereka kembali pulang dalam keadaan pakaian yang dikenakan sang isteri kotor penuh noda lumpur. Saat isterinya mandi dan ganti pakaian, Kak Ahmad dicecar sahabat-sahabatnya dengan sejumlah pertanyaan tentang apa yang terjadi. Kira-kira, begini jawab Kak Ahmad.
"Isteriku duduk terlalu ke belakang, sementara aku terlalu ke depan. Dia juga tidak pegangan ke pinggangku. Saat naik tanjakan, kukurangi perseneling dari tiga ke dua lalu aku tancap gas. Isteriku tidak siap, kaget lalu jatuh." Kata Kak Ahmad penuh sesal.
Kakak tingkatku dan teman-temannya spontan terbahak mendengar penuturan Kak Ahmad. Bagaimana bisa setelah resmi menikah masih bersikap seperti itu. Seakan-akan sedang berboncengan dengan monster mengerikan.. Tapi silaturahim tetap dilakukan. Jadilah pengantin baru ini akhirnya benar-benar duduk dempet di atas sepeda motor gara-gara kasus tadi. Kali ini tangan sang isteri pun melingkar di pinggang suaminya. Diam-diam, Kak Ahmad tersenyum, malu bercampur senang..
Sekitar pukul 11.00, Kak Ahmad dan isteri pulang. Kelima sahabat siap-siap pamit. Tapi sebelum kata pamit meluncur, tanpa merasa bersalah Kak Ahmad justru duluan bertanya, atau tepatnya nyindir: "Kalian nggak segera pulang apa tidak ditunggu keluarga?" cara mengusir paling halus..
Kelima sahabat ini sebenarnya ingin marah diperlakukan seperti itu. Tapi mereka memilih diam dan pengertian dengan apa yang dirasakan sahabat mereka itu. Mereka pulang, dan akhirnya Kak Ahmad pun benar-benar menikmati siang pertamanya bersama isteri…
Teman, aku hanya ingin membagi sesuatu yang membuatku haru. Banyak orang menggadaikan kenikmatan tertinggi, dengan pacaran lama dan melelahkan. Padahal, jika kita mau merenung, alangkah agung-nya makna malam pertama. Saat kita disandingkan dengan orang yang benar-benar halal untuk kita sentuh. Alangkah istimewanya momen itu. Alangkah bergetarnya hati saat untuk pertama kali kita disentuh, didekap bahkan menyerahkan segala yang kita miliki untuk pasangan hidup. Semua akan menjadi indah dan haru, karena memang itulah pertama kalinya kita melakukan hal itu.
Bandingkan dengan malam pertama jika sebelumnya sudah terbiasa berduaan, bahkan mungkin saling menyentuh. Malam pertama tak ubahnya malam-malam lain. Jadilah makna malam pertama tak menggetarkan ruh lagi. Lalu muncullah kata: Biasa saja.
Maka, membaca buku "Kenapa Harus Pacaran?", aku semakin yakin bahwa jawaban sekaligus makna terdalam dari buku itu adalah satu alasan: Karena pacaran memang tidak akan pernah membawa manfaat.
Mari sama-sama kita renungkan hal ini. Pilih mana, kenikmatan tak terlupakan seumur hidup, atau malam pertama yang terkubur tanpa makna selain kata "biasa saja?". Mumpung masih bisa memilih, pilihlah jalur paling aman dan membahagiakan. Jadikan malam pertama itu benar-benar yang pertama untuk kita…
Dari sahabat yang setia menghuni Kota Solo
Oleh: Mardiana Nurwulan
Penulis buku berjudul "7 Hari Sembuh Dari Patah Hati", yang akan segera diterbitkan oleh Act!On, http://actionpublishing.net.
0 comments:
Post a Comment