Create your own banner at mybannermaker.com!

Search...

Mamamia: Hancur Bersama Mama

STUDIA Edisi 350/Tahun ke-8 (16 Juli 2007)

Acara Mamamia yang digeber saban Selasa malam di stasiun televisi Indosiar ini sebenarnya mirip dengan kontes audisi pencarian bakat lainnya yang udah ada sebelumnya. Diadap-tasi dari Quincianera—ditayangkan televisi berbahasa Spanyol di Amerika—Mamamia mampu menggugah emosi penonton, termasuk juri vote lock (100 orang juri independen yang nggak ada hubungan kekerabatan atau teman dengan peserta). Apalagi acara ini mirip kayak AFI, yang sering mengekspos latar belakang peserta audisi. Biasanya yang mengharukan gitu deh. Jadinya ya kalo dilihat dari kualitas acara sih biasa-biasa aja. Tapi ada yang membedakan dari segi format acara, yakni peran mama yang biasanya berada di belakang layar, kini tampil bareng dengan anaknya.
Sobat muda muslim, mama dan anak di acara ini bisa bekerja sama, bahkan mamanya langsung jadi manajer anaknya. Pihak stasiun televisi Indosiar pun mengklaim bahwa acara ini cukup laris. Seperti biasa, yang dijual untuk menggoda pengiklan agar ikut mensponsori acara tersebut adalah dari ‘makhluk’ bernama rating. Ambil contoh pada episode kelima, 15 Juni 2007 lalu, di Balai Sarbini, Jakarta, data AGB Nielsen Media Research mingguan pada 1 Juni - 23 Juni menyebutkan rating 6,5 dengan share penonoton 19,4 persen. Pada minggu berikutnya, rating mingguan meningkat lagi menjadi 8,3 dengan share penonton 25,3 persen. (Koran Tempo, 8 Juli 2007)
Maraknya acara seperti ini bukan tanpa sebab lho. Pasti ada banyak alasan dan tentu kepentingan. Gampang aja sih ngelihatnya, orang berbuat itu umumnya disetir oleh kepentingan. Beragam kepentingan tentunya tergantung setiap orang. Sementara kepentingan dari setiap orang biasanya lahir dari sebuah persepsi alias cara pandang yang tentunya saja mempengaruhi sikap. Jadi, berawal dari cara pandang, kemudian melahir-kan sikap, diteruskan dengan kepentingan, dan akhirnya ditumbuhkanlah keinginan.
Ambil contoh masalah ini, cara pandang terhadap acara pencarian bakat secara instan, apalagi ditambah banyak hadiahnya, maka orang pasti senang. Siapa sih yang nggak ingin populer? Manusia mana yang nggak butuh duit—apalagi nyarinya cepat? Maka, ketika memahami bahwa hal itu menyenangkan, akan tumbuh sikap terhadap hal itu. Misalnya, ingin meraihnya dengan penuh ambisi. Sikap ini tentu saja berbanding lurus dengan kepentingan. Apa kepentingannya? Ya, tadi itu: tenar dan tajir dalam waktu sesingkat mungkin. Akhirnya, keinginan untuk merasakan kesenangan itu tumbuh subur. Itulah sebabnya mengapa acara seperti ini begitu marak dan banyak peminat-nya. Berjubel euy!
Bukannya kita ngiri apalagi kebakaran jenggot karena nggak bisa ngikutin acara tersebut. Sori lha yauw, kita cuma ngerasa kasian sama temen-temen yang bela-belain meminati acara begituan. Lho kok kasian, bukannya mereka dapetin semua yang mereka inginkan? Bukankah dengan ikut acara tersebut mereka jadi tenar dan dapat duit banyak? Khusus acara Mamamia, kan bisa barengan ngetop mama sama anaknya, kenapa harus kita yang merasa kasian sama mereka?
Hmmm jawabnya gampang aja: karena kita ngerasa kasian ngeliat mereka terjerumus dalam budaya yang hedonis dan jauh dari nilai-nilai Islam. Itu aja kok. Sederhana banget kan? Kalo kita cuek mana mungkin cerewet nulis artikel kayak gini. Justru ini sebagai tanda cinta kita kepada saudara yang lain. Biar nggak terlalu jauh melangkah meninggalkan Islam. Itu aja kok. Setuju kan?

Mafahim, maqayis, dan qanaat

Sobat muda muslim, mafahim itu artinya pemahaman. Ya, pemahaman seseorang tentang kehidupan. Bisa juga berarti cara pandang alias persepsi. Sementara maqayis adalah tolok ukur alias standar perbuatan. Ketika kita berbuat pastinya kita dikendalikan oleh pemahaman dan memiliki standar perbuatan sesuai pemahaman tersebut. Nah, kalo qanaat itu adalah kerelaan, ridho. Bisa juga berarti kesenangan dan ketenangan.
Mengapa ini dibahas? Sebab, manusia mana pun ketika melakukan sesuatu perbuatan atau mengeluarkan pendapat bisa dilihat dari tiga komponen ini. Nah, sebagai muslim, maka mafahim, maqayis, dan qanaat-nya kudu Islam. Bukan yang lain.
Lha, kalo sekarang? Duh, sedih banget deh. Ternyata banyak di antara kita yang mafahim-nya tentang kehidupan berdasarkan kapitalisme- sekularisme. Cara pandang sebagian besar manusia saat ini dikendalikan oleh idoelogi tersebut. Sadar atau nggak sadar. Kalo yang sadar, berarti dia meyakini kebenaran kapitalisme- sekularisme. Kalo yang nggak sadar, ia masih percaya Islam tapi karena nggak mendalam akhirnya terjebak oleh pola yang diajarkan kapitalisme- sekularisme.
Hmm.. repot juga ya? Ya, iyalah. Saat ini, sebagian besar kaum muslimin (termasuk yang nonmuslim) sudah tergoda dengan aturan hidup kapitalisme- sekularisme. Oya, kapitalisme itu akidahnya adalah sekularisme. Apa itu sekularisme? Sekularisme itu memisahkan antara kehidupan dunia dengan urusan agama. Misal, kalo lagi shalat mah khusyu’ bukan main. Selesai shalat langsung berdoa dengan penuh pengharapan kepada Allah Swt. But, di luar shalat dan doa, kita liar nggak mau diatur sama Islam. Shalat kuat, ngaji kuat, tapi pacaran dan berzina juga doyan. Halah, itulah sekular, Bro!
Sobat, gara-gara cara pandang kita tentang kehidupan menggunakan standar kapitalisme- sekularisme, maka maqayis alias tolok ukur perbuatannya juga ngikutin ideologi ini. Asas kehidupannya adalah asas manfaat menurut ukuran logika dan hawa nafsu manusia. Kalo jualan miras dan narkoba itu bikin untung, ngapain jualan air mineral kemasan dan bubur ayam, misalnya. Kalo menjadi artis di dunia hiburan saat ini bikin terkenal dan banyak duit, ngapain jadi orang berilmu (ustad or ilmuwan) yang saat ini nggak terlalu dihargai, udah gitu hidupnya nggak sejahtera pula. Inilah cara pandang kapitalisme- sekularisme dan tolok ukurnya.
Apakah mereka rela dan tenang hidup dalam kondisi seperti ini? Sangat boleh jadi mereka menikmati. Tentu saja dong. Sebab, gara-gara cara pandang dan tolok ukur ala kapitalisme- sekularisme, maka qanaat-nya juga ngikutin. Itu sudah satu paket. Nggak bisa dipisah-pisah dan nggak mungkin dipilah-pilah. Orang yang menganggap bahwa jualan miras dan narkoba boleh, maka dia akan melakukan dan merasa ridho serta senang jika udah bisa menjual barang tersebut, apalagi kalo barangnya laku. Sekular itu. Pasti deh.
Terus gimana dengan acara Mamamia? Sama aja, Bro. Ini cuma beda kasus. Mereka yang menganggap bahwa kehidupan dunia saat ini hanya semata untuk senang-senang dan bebas nilai, maka tolok ukur perbuatannya pun semata ngikutin logika dan hawa nafsu tanpa tuntunan dari Allah Swt. dan RasulNya. Itu sebabnya, bagi mereka yang udah terpola dengan cara pandang ini, ikut acara Mamamia (atau acara audisi sejenis) adalah bagian dari jalan meraih kehidupan yang lebih baik. Untung-ruginya diukur dari manfaat, bukan syariat. Mereka juga qanaat alias rela dan merasa puas serta senang ikut acara itu, apalagi jika berhasil.
Padahal, menurut cara pandang Islam, sebelum kita melakukan suatu perbuatan harus dilihat dulu faktanya. Apakah perbuatan tersebut sesuai dengan ajaran Islam atau malah bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, meraih kehidupan yang lebih baik, bukan berarti menghalalkan segala cara. Islam membolehkan kok umatnya kaya raya, tapi harus diraih dengan cara yang sesuai dengan tuntunan Islam. Bukan yang lain.
Acara Mamamia (termasuk KDI, Indonesian Idol dan sejenisnya) banyak sekali yang bertentangan dengan Islam. Seperti cara berpakaian yang melanggar ajaran Islam (tak menutup aurat), campur-baurnya penonton laki dan perempuan, dan lagu-lagu yang dinyanyikan tak sedikit yang marusak akidah dan bahkan melanggar syariat. Lebih dari itu, acara semacam ini telah mengubah gaya hidup manusia. Celakanya, gaya hidup yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam.

Mama teladan dan pelindung anak

Mama seharusnya menjadi teladan bagi anaknya dan juga pelindung anaknya. Mampu mengarahkan anaknya menjadi anak yang baik dan shaleh/shalihah. Apalagi jika anaknya menjadi pejuang dan pembela Islam. Bukan malah mengarahkan dan membimbing anaknya menuju kehidupan yang lebih rusak. Sungguh malu dan kasihan melihat mama dan anaknya manggung bersama di acara Mamamia. Gemer-lap memang, bertabur pujian memang, terkenal memang, mendapat banyak hadiah memang, tapi sebenarnya itu semua semu belaka.
Jadi seleb di dunia hiburan saat ini memang tak lepas dari kehidupan yang hedonis dan permisif. Meski mungkin saja ada seleb yang ‘bersih’, tapi karena kehidupan itu sangat dekat dengan gaya hidup seperti itu, akhirnya ya kena cap juga. Makanya, jangan dekat-dekat atau malah mendekat dan ingin terlibat di dalamnya. Bahaya, Bro.
Mendidik anak itu memang susah. Nggak gampang. Tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan. Bisa kok. Asal ada kemauan dan sadar bahwa pendidikan itu sangat berharga. Apalagi pendidikan yang membentuk mafahim, maqayis, dan qanaat yang berlandaskan ajaran Islam. Insya Allah sangat berharga bagi anak. Dan, ibulah yang paling mungkin untuk lebih banyak mengajarkannya kepada anak-anaknya. Meski tentu saja ada peran dari ayahnya juga. Lha, kalo manggung bareng anak di acara Mamamia, berarti sedang mendidik anak untuk jauh dari ajaran Islam. Sudahlah dirinya tak mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya sesuai ajaran Islam, eh, malah ngajakin anaknya untuk rusak juga. Halah, menyedihkan sekali.
Rasulullah saw. bersabda: “”Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu-bapaknya- lah yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi.” (HR Bukhari)
Tuh, berat banget kan tugasnya? Itu sebabnya, pendidikan harus dimulai sejak usia dini. Bahkah sebelum mentransfer nilai, kedua orangtua harus melaksanakan lebih dulu dalam kehidupan sehari-hari (menjadi teladan). Karena di usia kecil, anak-anak cerdas cenderung meniru dan merekam segala perbuatan orang terdekat.
Selain itu, bersegera mengajarkan dan memotivasi anak untuk menghafal al-Quran. Kegunaannya di samping sejak dini mengenalkan Yang Maha Kuasa pada anak, juga untuk mendasari jiwa dan akalnya sebelum mengenal pengetahuan yang lain. Oya, nggak lupa menjaga lingkungan si anak, harus menciptakan lingkungan yang sesuai dengan ajaran yang diberikan pada anak.
Nggak heran dong kalo Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkomentar, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orang tuanya.”
Itu artinya, kalo orangtua ngajarin kebaikan, maka hasilnya juga insya Allah baik. Syaikh Sayyid Quthb memberikan testimoni untuk ayahnya: “Semasa kecilku, ayah tanamkan ketakwaan kepada Allah dan rasa takut akan hari akhirat. Engkau tak pernah memarahiku, namun kehidupan sehari-harimu telah menjadi teladanku, bagaimana prilaku orang yang ingat akan hari akhir”
Tuh, tentunya kita sangat mendambakan kehidupan yang lebih baik. Yakin deh, orangtua yang baik, terutama ibu, pasti akan mendidik anak-anaknya ke arah yang benar dan baik sesuai ajaran Islam. Bukan ajaran lain. Sesulit apapun, insya Allah akan dilakukannya demi masa depan anak-anaknya. Sebab, insya Allah akan berbuah pahala dan hasil yang bagus. Bagaimana menurutmu? Setuju kan? [solihin: www.studia-online. com]

Klik Judul Artikel untuk Baca Selengkapnya....

0 comments: