Create your own banner at mybannermaker.com!

Search...

Jalan Taubat Sang Rocker

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi


"Cinta yang tulus di dalam hatiku,
Telah bersemi karena-Mu
Hati yang suram
kini tiada lagi
Tlah bersinar karena-Mu
Semua yang ada pada-Mu
Membuat diriku
tiada berdaya
Hanyalah bagi-Mu
Hanyalah untuk-Mu
Seluruh hidup
dan cintaku…"

dakwatuna.com - Masih terngiang lirik lagu Cinta Yang Tulus yang
dinyanyikan Bangun Sugito alias Gito Rollies, yang popular di tahun
80an. Lagu yang pernah dipopularkan The Rollies itu memang liriknya
terkesan religius. Namun kesan itu menjadi paradoks ketika tahu sisi
gelap dari kehidupan si pelantun tembang tersebut. Penampilan Gito
kala itu urakan dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel
menghiasi kejayaan The Rollies Band di era 1980-an. Bahkan lagu-lagu
cadas meluncur dari suara seraknya. Segudang kendugalannya kerap
dikupas dan menjadi langganan infotainment.

Sudah menjadi rahasia umum bila dunia selebritis di mana pun berada
selalu dekat dan akrab dengan dunia gemerlap (dugem) yang kerap
diselingi berbagai macam kesenangan sesaat seperti narkoba dan
obat-obatan terlarang lainnya. Tak terkecuali pria kelahiran Biak, 1
November 1947 ini.

"Tiap Jumat siang kami berangkat ke daerah Puncak Bogor untuk pesta
miras dan narkoba," Ungkap Gito dengan nada sesal.

Sebelum merasakan ke-Mahaan Allah dalam dirinya, Bangun Sugito hidup
dalam serba kecukupan. Bergelimang kemewahan, bergiat dalam kehidupan
malam, bertemankan jarum neraka. Begitulah hari demi hari yang dilalui
seolah pakaian yang tak pernah lepas dari badannya.

Bahagiakah hidup seperti itu? Mendatangkan ketenangankah semua itu?
Sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sebuah rasa yang belum pernah
ada dan sebuah keinginan yang belum tercapai. Pada akhirnya semuanya
hanya menghantarkannya ke alam risau, resah dan gelisah.

Klimaks terjadi kala ia merayakan ulangtahunnya yang ke-50 pada 1997.
Di situ, Gito mengundang seluruh karibnya untuk berpesta alkohol dan
obat sepuasnya.

Dalam kerisauan panjang, beriring desah dan keluh kesah, daerah Puncak
Bogor –Puncak dikenal sebagai tempat rekreasi di daerah Jawa Barat–
selalu menjadi tempat menumpahkan penat, mengubur kegundahan yang
membuncah. Wal hasil bukan ketenangan yang didapat bahkan gelisah itu
makin menjadi. Namun dari daerah inilah benih hidayah itu mulai mekar
membesar. Puncak menjadi tempat bersejarah, tempat solusi menjawab
segala kerisauan.

Saat itu hari Jumat siang. Pria dengan rambut awut-awutan ini masih
memegang botol miras, duduk di tempat yang tinggi sambil sesekali
memandang ke arah bawah. Pandangannya tertuju kepada beberapa warga
desa yang ramai menuju mesjid, hatinyapun bergetar, kerisauanpun
kembali mengusik hati.

"Mereka dengan kesahajaan bisa menemukan kebahagiaan. Apakah di Masjid
ada kebahagiaan?!" Pertanyaan itu selalu mengusik Gito.

Sungguh pemandangan indah di hari Jumat itu, memberi arti tersendiri
bagi kehidupan Gito Rollies. Sulit dibedakan keterusikan karena
sekedar ingin tahu atau ini adalah awal Allah membukakan hatinya bagi
pintu tobat.

Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit
yang memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada
kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan
kegelisahannya selama ini.

"Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah
kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang ruku,
sujud dalam kekhusuan,"

"Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan,
tapi kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek
bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan
mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas
bergelimang dalam ketidakbahagiaan." Pikiran itu terus bergelayut
seakan haus jawaban.

"Malam itu aku benar-benar tidak dapat memejamkan mata. Aku gelisah
sekali. Ya, ternyata aku yang selama ini urakan, permisive ternyata
masih takut dengan dosa dan neraka. Berhari-hari aku mengalami
kegelisahan yang luar biasa. Hingga suatu malam, di saat kegelisahanku
mencapai "puncaknya", aku memutuskan untuk memulai hidup baru.

"Selama hidupku, baru kali ini aku diliputi suatu perasaan yang belum
pernah aku rasakan semenjak mulai memasuki dunia selebritis. Maka, aku
pun segera berwudlu dan melakukan shalat. Ketika itu, untuk pertama
kalinya pula aku merasakan kebahagiaan dan kedamaian. Dan sejak hari
itu, aku memutuskan untuk tekun memperdalam agama sekalipun masih
banyak sekali tawaran-tawaran menggiurkan yang disodorkan kepadaku
atau pun beragam ejekan dari sebagian orang. Aku pun melaksanakan haji
seraya berdiri dan menangis di hadapan ka'bah memohon kepada Allah
kiranya mengampuni dosa-dosa yang telah aku lakukan pada hari-hari
hitamku."

Ketika mentari terbit, Gito langsung mengajak istrinya untuk pergi ke
Bandung, menjenguk sang ibunda. Di sana, ia mengutarakan niatnya untuk
tobat yang disambut tangis haru sang ibu. Sejak saat itu, Gito resmi
meninggalkan dunia kelam.
Satu yang disyukuri Gito adalah, dukungan dan kesabaran sang istri,
Michelle, yang tak pantang habis.

"Saat aku sudah belajar agama, aku tidak berupaya menyuruhnya shalat.
Ia tiba-tiba belajar shalat sendiri, begitu juga anak-anak. Suatu
hari, ketika aku pulang, tiba-tiba aku mendapatinya tengah mematut
diri di depan kaca sambil mengenakan jilbab. Padahal aku tidak pernah
menyuruhnya. Subhanallah, istriku memang yang terbaik yang pernah
diberikan Allah," kata ayah dari empat putra ini.

Tobatnya Gito juga disyukuri oleh sang mertua, warga negara Belanda
yang berimigrasi ke Kanada. Meski berbeda keyakinan, ibu mertuanya
justru senang dengan perubahan yang dialami Gito.

"Kata beliau, aku jadi lebih kalem ketimbang dulu, meski sekarang
pakai jenggot segala. Bahkan aku jadi menantu favoritnya lho,"
tuturnya sambil terkekeh.

"Mengapa Allah memberikan hidayah kepada diriku yang kerdil ini?
Mengapa Allah menciptakan makhluk yang penuh dosa ini?"

Gito mengaku harus merenung lama untuk menemukan jawaban itu. Setelah
dia menjalankan shalat dan menunaikan haji, jawaban itu baru mampir di
benak dan pikirannya. "Ternyata, Allah menciptakanku untuk menjadi
manusia baik. Semula mengikuti idolaku, Mick Jagger. Aku menjadi
penyanyi dan rekaman lalu mendapat honor. Tapi itu bukan kebahagiaan
sepenuhnya buatku."

"Mick Jagger itu dulu menjadi idolaku. Ikut mabok, main cewek, dan
seabrek dunia kelam lain. Tapi sekarang aku mengidolakan Nabi. Dan
sekarang, aku menemukan nikmat yang tiada tara."

Kalimat itu meluncur dengan lugas dari Gito Rollies, artis ndugal yang
kini memilih ke pintu pertobatan. Penampilan Gito tak lagi urakan
dengan rambut awut-awutan dan celana jin belel. Bukan pula pelantun
lagu-lagu cadas yang berjingkrak-jingkrak tidak keruan.

"Aku sudah mendapatkan banyak hal di dunia ini. Sekarang saatnya
mengumpulkan amal untuk persiapan menghadapi hari akhir ," katanya
ketika memberi testimoni tentang perubahan dalam hidupnya.

Artis kelahiran Biak, Papua, 1 November 1947 dengan nama bangun Sugito
ini awalnya dikenal sebagai rocker. Dalam perjalanan karirnya, ia juga
dikenal sebagai aktor dan terakhir dalam kondisi sakit ia menjadi
penceramah agama.

Nama Gito terlihat diambil dari nama aslinya, sementara nama Rollies
diambil dari nama grup band asal Bandung, The Rollies yang pernah
terkenal pada dekade 1960-an hingga 1980-an. Grup ini terdiri dari
vokalis Gito, Uce F Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa, Teungku
Zulian Iskandar.

Setelah bersolo karir, dia menelorkan sejumlah album solo, yakni Tuan
Musik (1986), Permata Hitam/Sesuap Nasi (1987), Aku tetap Aku (1987),
Air Api (1987) dan Tragedi Buah Apel (1987) dan Goyah (1987).

Sebagai aktor Gito memulai debutnya di dunia film lewat Buah Bibir
(1973) sebagai figuran. Setelah benar-benar menjadi aktor ia bermain
dalam Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam (1979) dan Sepasang
Merpati (1979), dan Permainan Bulan Desember (1980), dan Kereta Api
Terkahir (…). Namun kekuatan aktingnya terlihat pada Janji Joni yang
mengantarkannya meraih piala Citra untuk kategori Aktor Pembatu Pria
Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2005.

Kang Gito, begitu sapaan akrabnya, memang bukan lagi Gito Rollies yang
lama. Sejak 10 tahun belakangan, hidupnya berubah 180 derajat. Kini,
ia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, mantan personel band
The Rollies ini tak segan-segan menyerukan semua orang untuk
meninggalkan kehidupan yang dipenuhi alkohol dan obat-obatan
terlarang.

"Dalam hidup ini -apa pun agamanya- adalah paling baik mengikuti
ajaran agama. Karena inilah yang akan membentengi kita -terutama
anak-anak- dalam menjalani cobaan hidup," lanjut ayah tiga anak dari
perkawinan dengan Michelle: Puja, Bayu dan Bintang.

Toh, meski sudah berada di jalan Allah, Gito tak pernah merasa dirinya
yang paling benar. Ia selalu menolak jika disebut kyai, atau diminta
untuk berceramah. Menurutnya, ia hanyalah orang yang masih terus
belajar agama. Apapun yang diucapkannya di depan umum adalah upayanya
berbagi cerita.

Bahkan, Gito masih merasa belum cukup bertobat hingga akhir hayatnya.
Tak pernah sekalipun ia merasa dosa-dosanya telah terhapuskan. Dalam
suatu pengajian ia sempat bertanya kepada ustadz yang berceramah,
apakah dosa-dosanya di masa lalu bisa berkurang dengan perbuatannya
saat ini.

"Tak hanya berkurang, namun dosa Kang Gito bahkan sudah dianggap
lunas. Kang Gito jangan berpikir perbuatan baik saat ini untuk bayar
dosa yang lalu. Sekarang Kang Gito tengah menabung untuk masa depan,"
jawab sang ustadz, yang disambut Gito dengan wajah sumringah.

Sejak 1990-an nama Gito hilang dari peredaran setelah dia menarik diri
dari dunia panggung musik rock maupun film. Khalayak pun tidak lagi
menyaksikan aksi-aksi penyanyi bersuara serak dengan gaya panggungnya
yang atraktif. Beberapa tahun kemudian Gito muncul menjadi seorang
dai, yang kerap tampil dengan pakaian putih-putih.

Sejak 2005 Gito harus terbaring lemah. Ia tak berdaya melawan kanker
kelenjar getah bening yang dideritanya. Namun kemudian ia justru
terlihat banyak melakukan kegiatan dakwah. Bahkan sebelum meninggal
Gito masih sempat berdakwah di Padang, Sumatera Barat selama 11 hari.

Tahun-tahun belakangan memang terasa berat buat Michelle Sugito wanita
asal Kanada yang telah mendampingi hidupnya selama ini. Ia harus
mendampingi suaminya menjalani terapi pengobatan kanker kelanjar getah
bening yang dirasakan penyanyi rock ini, dua tahun terakhir.

Sosok Bangun Sugito yang atletis dan enerjik di panggung sudah menjadi
bagian masa lalu. Untuk berjalan pun kini ia harus dibantu atau
minimal menggunakan tongkat. Kadang ia memang menolak untuk dibantu.
"Maunya sih tidak dibantu. Tetapi karena aku selalu bicara bahwa
manusia harus saling membantu, ya aku juga harus mau dibantu orang
lain," kata Gito.

Karena itulah ia juga tidak menolak ketika diminta ikut dalam acara
penggalangan dana buat korban gempa bumi Yogyakarta yang digagas orang
tua murid tempat isterinya bertugas. Gito menganggap saat ini sudah
saatnya ia bernyanyi untuk berdakwah, sesuatu yang ia harapkan ada
manfaatnya buat para pendengarnya.

Sebab itu pulalah ia lebih memilih menyanyikan lagu-lagu bernuansa
religius ketimbang lagu-lagu nunasa masa lalu
seperti,"Astuti…Tuti..Tuti…"

Bersamaan dengan sumbangan yang mengalir dari undangan, air mata
Michelle Sugito makin deras mengalir.

Ya, Gito Rollies memang pribadi yang penuh kenangan. Kehidupannya
tersimpul dalam satu kalimat 'Mantan lalim, yang jadi orang alim'.
Masa mudanya memang sangat dekat dengan miras, narkoba dan hura-hura.
Selama kurang lebih 23 tahun tidak menyurutkan niat rocker gaek
bernama lengkap Bangun Sugito ini untuk tobat dan mendalami agama.

Dialah satu-satunya Rocker yang meninggal dengan tenang, indah dan
tersenyum. Happy Ending. Seandainya Sid Vicious meninggal dengan
tenang di St Paul's Cathedral, Kurt Cobain dan Jimmy Hendrix meninggal
mesra di St James Cathedral maka sepertinya tidak akan ada stigma:
Rocker mati konyol dengan mulut berbusa atau berlumuran darah karena
bertingkah bodoh akibat pengaruh narkoba. Dan mitos "Rocker Legend
mati muda" pun sudah mulai usang karena Legend kita yang satu ini
tutup usia di umur 61 tahun.

Gito menigggalkan seorang isteri bernama Michelle dan lima anak, yakni
Galih Permadi, Bintang Ramadhan, Bayu Wirokarma, dan Puja Antar
Bangsa.

Sebaik-baik usia tiap orang adalah pada penghujungnya. Dan ketahuilah,
bagi kita, ujung-ujung usia akan selamanya menjadi misteri, karena
seringkali di sanalah Allah memberikan kesudahan yang indah dari
perjalanan taubat hamba-Nya.

Ila Robbika Muntahaha. Innama Anta Mundziru Man Yaghsyaha

http://www.dakwatuna.com/index.php/kaifa-ihtadaitu/2008/jalan-taubat-sang-rocker/

Klik Judul Artikel untuk Baca Selengkapnya....

0 comments: