Create your own banner at mybannermaker.com!

Search...

Bahaya Lidah (Bag ke-1): Prolog



Al-Afaatul Lisan (Bahaya Lidah)

(Bag ke-1)

DUA hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia-
adalah menjaga dan memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku.
Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua yaitu,\"Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari Qiyamat hendaklah berkata yang baik atau diam.\"
Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak
mengucapkan hal yang buruk dan menyakiti hati, karena bertutur
sembarang tanpa pikir akan membawa kepada krisis lain yaitu
permusuhan, kekacauan bahkan pertumpahan darah.

Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan
terjalinnya kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera di tengah
masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah Rasulullah saw
berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu
dan melampaui batas atau menyentuh hak dan maruah orang lain.

Inilah nilai keadaban yang tinggi yang amat dibutuhkan masyarakat
kini. Disaat pengaruh kebendaan dimana nafsu manusia semakin meluap
dan telah meminggirkan sifat santun dan adab bertutur. Perbuatan
mereka tampak semakin cablak, ganas dan tanpa tedeng aling-aling
mengamburkan kata-kata kotor, jijik berupa umpatan ataupun celaan.

Orang-orang tertentu kini kelihatan tidak lagi menjungjung tinggi adab
sopan dalam berbicara. Seakan yang mereka ke depankan saat ini
hanyalah memenangkan persaingan hidup. Di bidang ekonomi manusia
berlomba-lomba mencari peluang untung diri sendiri. Di bidang politik
juga tidak kalah hebatnya demi mendapatkan kekuasaan, demikian juga di
dalam bidang kehidupan yang lain, manusia sering melupakan diri dan
martabatnya, semata-mata karena mengejar sesuatu kemudian merebutnya
untuk dirinya sendiri.

Lihat saja ketika 'musim kampanye', saban waktu dan saban hari, siang
dan malam, kita mendengar ceramah dan ucapan yang dipenuhi dengan
kata-kata liar, kasar dan amat menyakitkan telinga. Tuduhan dan
hasutan yang tidak mengandung kebenaran. Kata-kata dalam bentuk
fitnah, makian yang biadab, dan berbagai 'kalimat sampah' kerap
dijelmakan dalam kesempatan berbicara dan dimainkan oleh orang-orang
yang pandai bersilat dengan kata-kata dan retorika.

Masyarakat tidak terkecuali senang mendengar dan menelannya
mentah-mentah. Kadang-kadang dalam bentuk lucu dan humor, tetapi penuh
kepedihan dan kepalsuan. Unsur lucu atau jenaka yang diselipkan dalam
ceramah dan pidato politik amat menarik perhatian orang yang
mendengarnya, tapi amat memalukan bahwa objek lucu itu kadang-kadang
ditujukan kepada musuh politiknya secara amat sinis dan hina, malah
menyentuh keturunan dan nenek moyang seseorang yang tidak ada kaitan
dengan sesuatu yang diutarakan dalam lawak jenakanya yang menyakitkan
itu.

Di parlemen, agenda pertama yang dilihat dalam persidangan ialah
'medan laga mulut' yang tidak mengikuti adab kesopanan dan adab Islam
atau bahkan aturan moral sekalipun. Dewan Perwakilan Rakyat berubah
menjadi medan laga yang penuh permusuhan seolah-olah manusia sekarang
sudah kembali ke zaman yang tidak beradab.

Harus diakui bahwa manusia memang berbeda pandangan dan pendirian,
bebas membuat pentafsiran terhadap sesuatu yang dirasakan benar
baginya, tetapi manusia juga mempunyai akal dan pertimbangan secara
etis dan berperadaban. Kalau tidak prihatin kepada hal itu , maka
selanjutnya kita selalu dalam petaka.

Lidah memang tak bertulang, pepatah itu menggambarkan betapa sulit
mengatur lidah ini. Terkadang dalam tempat-tempat perkumpulan, keadaan
menjadi semakin seru bahkan akan menjadi segar, bila seseorang
menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang pencetus 'gosip' pernah
merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan. Yang ini bisa jadi akan
tambah seru. Dia pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili,
ataupun yang serupa dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering
blong.

Bila menghadapi kondisi 'menarik' seperti ini ungkapan cucu Rasulullah
saw, Al-Husain ra mungkin bisa menjadi mizan (pertimbangan) bagi kita,
"Seseorang yang menceritakan keburukan orang lain di hadapanmu, boleh
jadi dia akan menceritakan keburukanmu (juga) pada orang lain."

***

Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para sahabat diatur agar
setiap dua orang yang mampu, membantu seorang yang tak mampu (tentang
makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada dua orang,
tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia
disuruh minta lauk pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia
berangkat, keduanya berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur, pasti
surutlah sumurnya."

Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda, "Sampaikan kepada kedua
temanmu bahwa kalian sudah makan lauk pauknya." Setelah ia
menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya menghadap kepada Nabi
saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan seharian kami tidak
makan daging." Kemudian Rasulullah bersabda, "Kalian telah mengatakan
saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukan kalian memakan daging orang
mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika kalian tidak mau makan daging
orang mati, maka janganlah kalian ghibah mengatakan kejelekan orang
lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging saudaranya
sendiri."

Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang melatarbelakangi diturunkannya
surat Al-Hujarat: 12. "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu dosa, dan
janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah
kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang
di antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik
(tidak mau). Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima
taubat lagi Penyayang."

***

Imam Sya'bi adalah salah seorang syekh di kota Basrah, pada suatu hari
beliau berceramah di hadapan murid²nya, tersebutlah seorang murid
duduk disampingnya, yang mulai sejak awal Imam Sya'bi berbicara tidak
pernah ia bertanya atau berkata-kata sepatah katapun, tidak seperti
murid-muridnya yang lain, maka bertanyalah Imam Sya'bi kepada muridnya
yang satu ini ;

"Mengapa engkau tidak berkata sepatah katapun .....?"

Anak muda itu menjawab, dengan sebuah kalimat bijak," Oo, Aku diam,
maka aku selamat. Aku mendengarkan, maka aku tahu. Sesungguhnya
manusia itu mempunyai bagian masing-masing, di telinganya, bagian itu
untuknya, di lidahnya bagian itu untuk orang lain. Seseorang justru
tertimpa celaka karena terpeleset lidahnya, dan tidaklah ia terkena
bahaya lantaran terpeleset kakinya, apabila ia terpeleset kakinya ia
akan sembuh kembali dalam waktu yang tidak lama, tetapi apabila ia
terpeleset gara-gara perkataannya bisa saja ia kehilangan kepalanya."

Di Basrah pernah kedatangan seorang pria yang disangka wali dan
tampaknya sangat alim. Penduduk kota itu memuja-muja sang wali
lantaran melihat pakaiannya yang serba taqwa, jubahnya tebal,
sorbannya panjang, dan biji tasbihnya besar-besar, ia begitu
dihormati, dan penduduk banyak memberikan sedekah kepadanya. Hingga
dalam tempo singkat wali itu menjadi kaya raya, tetapi sebutirpun
belum pernah wali itu memberikan ilmu kepada penduduk Basrah sampai
saatnya ia akan meninggalkan kota itu. Sehingga Imam Hasan Al Bashri
ingin tahu, siapa gerangan dia, dan sejauh mana ketakwaan dan
kealimannya. Maka didatanginya wali tersebut di penginapannya, kepada
sang wali Imam Hasan Al Bashri bertanya ," Dari mana Tuan memperoleh
derajat kewalian?"

Orang itu dengan congkak menjawab," dari Allah ". Dengan ucapan
seringkas itu tahulah Imam Hasan Al Bashri bahwa orang tersebut bukan
wali, melainkan seorang penipu belaka. Seyogyanya ia berkata, "Maaf,
saya bukan wali." Sebab tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya wali
adalah benar-benar wali. Derajat kewalian tidak pernah disadari oleh
yang bersangkutan, derajat kewalian hanya dirasakan oleh orang-orang
yang memahami betapa beratnya menjadi orang saleh, yang memilih
kebajikan bagi orang lain daripada keuntungan buat diri sendiri.

(Bersambung...)


Sent by: Mariah Agustina

Klik Judul Artikel untuk Baca Selengkapnya....

0 comments: